
Kali ini, IzRuMin mempunyai cerita "Suara Hati Anak" lagi, yang menceritakan tentang sebuah kejadian sederhana namun penuh makna antara seorang kakak dan adik. Dalam cerita ini, sebuah botol minum milik adik yang rusak dan penyok menjadi awal dari serangkaian kejadian yang penuh emosi, kesalahpahaman, dan perasaan yang belum tentu mudah dipahami oleh orang dewasa. Bagaimana cara anak-anak menghadapi masalah ketika perasaan mereka tidak dimengerti, dan apakah mereka bisa belajar dari kesalahan yang terjadi?
Sebelum itu, IzRuMin ingin mengajak semua Izruwebers untuk memberikan dukungan berupa donasi agar IzRuMin bisa tetap aktif dan menyajikan cerita-cerita terbaru yang lebih menarik. Dukungan dari kalian sangat berarti untuk pengembangan web blog ini dan web member IzRu Web lainnya.
Pagi itu, suasana rumah terasa cerah. Dito, yang baru berusia lima tahun dan bersekolah di TK, bangun lebih awal dari biasanya. Dengan langkah ceria, dia berlari menuju ruang makan tempat ibu sedang menyiapkan sarapan. Ayah sedang duduk di ruang tamu, sibuk mengecek pekerjaan.
Biasanya, Rio, kakaknya yang sudah duduk di kelas dua SD, yang menyiapkan botol minumnya. Tetapi pagi ini, Rio masih asyik membaca buku di kamarnya. Dito merasa sedikit bingung, namun dia akhirnya memutuskan untuk mengurus botol minumnya sendiri.
Dito menuju ke dapur dan mengambil botol minum miliknya yang ada di lemari. Botol itu sudah sedikit kotor, jadi dia ingin membersihkannya. Tanpa berpikir panjang, Dito membuka keran dan menaruh air hangat yang cukup banyak ke dalam botol. Sementara itu, Dito tidak tahu bahwa terlalu banyak air hangat bisa menyebabkan botol plastik tersebut menjadi penyok.
Dari jendela kamar, Rio yang sedang membaca buku menoleh dan melihat adiknya yang sedang mengguncang-guncang botol berisi air hangat itu. Pemandangan itu membuat Rio langsung merasa gelisah. "Dito, kenapa sih kamu nggak bilang aku dulu kalau mau bersihin botol?" pikirnya. Tanpa berpikir panjang, Rio langsung bergegas keluar dari kamar dan menuju ke halaman depan tempat Dito berada.
Dia melihat Dito yang tampak ceria sambil mengguncang-guncang botolnya, tidak sadar kalau botol itu sudah mulai penyok. Rio merasa kesal. "Dito, kenapa nggak bilang aku dulu? Aku kan biasanya yang bantuin kamu, kenapa jadi kayak gini?" Rio mulai meluapkan kekesalannya.
Dito menoleh dengan wajah bingung, "Maaf, Kak, aku cuma... mau bersihin botol." Lalu, Dito melihat botolnya yang rusak dan langsung menangis. "Kenapa jadi begini, Kak? Maafkan aku," katanya sambil mengusap air mata yang mulai mengalir.
Melihat Dito menangis, Rio merasa semakin kesal. "Kamu nggak bisa hati-hati sedikit? Itu botol kamu, Dito. Kamu harusnya bilang dulu kalau nggak bisa bersihin!" Rio berkata dengan nada yang sedikit lebih keras, meskipun sebenarnya ia merasa khawatir.
Dito semakin menangis mendengar marahnya Rio. "Aku nggak sengaja, Kak. Aku cuma mau bersihin biar botolnya nggak kotor," isaknya, mencoba menjelaskan sambil menangis.
Mendengar keributan itu, ibu dan ayah pun segera datang ke ruang tamu. Ibu segera mendekati Dito dan memeluknya. "Sudahlah, Dito, jangan nangis," ibu berkata dengan lembut. "Besok-besok kita beli botol baru untukmu, ya." Ibu mencoba menenangkan adiknya.
Namun, ayah yang datang dari arah ruang tamu tampak lebih tegas. "Kenapa botolnya bisa rusak gini, Dito? Kamu nggak bisa hati-hati sedikit?" kata ayah dengan suara yang lebih berat. Kemudian, ayah menoleh ke Rio, yang berdiri tidak jauh dari mereka.
"Apa-apaan ini, Rio? Kamu itu bukannya bantuin adikmu, malah main HP di kamar!" Ayah menuding Rio dengan nada marah. "Kamu lihat kan, adikmu jadi begini. Seharusnya kamu ada di sini buat bantu dia!"
Rio terdiam sejenak. "Hah? Main HP? Pak, saya nggak main HP, saya lagi baca buku di kamar! HP saya juga lagi dicas, baterainya habis!" Rio mencoba menjelaskan, namun ayahnya tak memberikan kesempatan.
"Terserah, Rio. Kamu ini kalau udah punya HP, nggak pernah bisa fokus sama hal lain. Kamu lebih peduli sama HP daripada adikmu!" Ayah kembali mengkritik Rio, yang semakin merasa bingung dan kesal.
Rio menatap ayahnya, merasa sakit hati dengan tuduhan itu. Padahal dia benar-benar tidak sedang bermain HP. "Aku cuma baca buku di kamar, Pak. Kenapa malah aku yang disalahin?" pikir Rio dalam hati. Rasa sakit itu perlahan mulai menjalar di dadanya. Ia merasa kesal dan tidak dimengerti.
Setelah mendengar kata-kata ayahnya, Rio merasa hatinya hancur. "Aku nggak salah!" gumamnya dalam hati, tetapi lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan lebih lanjut. Perasaan itu semakin kuat, dan Rio hanya ingin menghindar dari situasi yang membuatnya merasa terpojok.
Dengan perasaan campur aduk, Rio berbalik dan pergi ke kamarnya. Pintu kamar ditutup dengan pelan, dan Rio langsung terjatuh di atas ranjang, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia merasa kesal karena dianggap salah, merasa sakit hati karena ayahnya menuduhnya tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan, dan merasa kecewa dengan Dito karena tidak meminta bantuan.
Ibu datang beberapa saat setelah Rio pergi. Dia menghampiri Dito yang masih menangis. "Dito, sudah ya. Nggak usah terlalu sedih. Besok kita beli botol baru, ya?" Ibu mencoba menenangkan Dito yang masih cemas.
Namun, ayah menanggapi dengan lebih tegas. "Tidak usah, biarkan saja. Nanti juga Dito masih bisa pakai botol itu," kata ayah, dengan nada yang lebih keras. "Lagipula, botol itu kan masih bisa dipakai meskipun penyok."
Dito yang mendengar itu terdiam, bingung. "Iya, Pak... Tapi kok jadi rusak gini, ya?" Dito bertanya pelan, meskipun hatinya merasa sangat kecewa.
Setelah kejadian itu, suasana rumah terasa hening. Ibu mencoba mendekati Rio di kamar. "Rio, aku tahu kamu merasa nggak adil. Tapi kamu harus tetap sabar, ya. Dito kan masih kecil, dia nggak tahu kalau air hangat bisa merusak botol. Dan ayah... kadang memang suka ngomong terlalu keras, tapi dia juga nggak bermaksud menyakitimu," ibu berkata lembut.
Rio hanya mengangguk, meskipun rasa kecewa di hatinya belum hilang. "Aku nggak tahu harus gimana, Bu. Aku cuma ingin adik nggak salah lagi, tapi kenapa malah jadi aku yang disalahkan?" Rio merenung, merasa semua usaha yang ia lakukan untuk menjaga Dito justru berbalik menjadi masalah.
Dito yang datang ke kamarnya, melihat Rio yang tampak sedih, berusaha menghapus perasaan bersalahnya. "Kak, maafkan aku. Aku nggak sengaja," kata Dito pelan, sambil memegang tangan kakaknya.
Rio menatap adiknya, lalu menghela napas panjang. "Nggak apa-apa, Dito. Yang penting kamu nggak terluka. Tapi lain kali, kalau ada masalah, bilang ke kakak, ya?" Rio mencoba tersenyum, meskipun di dalam hatinya, ia masih merasa sedih.
Dito tersenyum lemah dan memeluk kakaknya. "Iya, Kak. Terima kasih udah sabar sama aku."
Meski rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang, Rio merasa sedikit lebih baik setelah mendengar kata-kata adiknya. Ia tahu, mereka berdua masih belajar menjadi saudara yang baik. Terkadang, kesalahpahaman dan fitnah datang tanpa kita sadari, namun hal itu bisa menjadi pelajaran berharga untuk lebih memahami satu sama lain.
Mungkin di lain waktu, Rio bisa lebih sabar, dan Dito bisa lebih berhati-hati. Namun yang terpenting, mereka belajar bahwa dalam sebuah keluarga, pengertian dan kasih sayang lebih penting daripada kesalahan-kesalahan kecil yang bisa diatasi bersama.
Sekian dulu cerita Suara Hati Anak kali ini. Jangan lupa untuk Follow Blog atau download aplikasi IzRu Web sekarang, agar tidak ketinggalan cerita menarik lainnya dari web blog Catatan IzRuYan.
Jangan lupa juga buat baca cerita tentang seorang remaja yang merasa sedih akibat tidak punya HP selama ± 17 bulan setelah HP lama kesayangannya rusak mendadak. Baca e-book "17 Bulan Sedih Tanpa HP" sekarang. Dapatkan hanya di Trakteer.
Terimakasih :)
Posting Komentar