
Kali ini, IzRuMin kembali berbagi cerita "Suara Hati Anak" yang menceritakan pengalaman seorang anak yang sedang menjalani momen sederhana, namun penuh dengan pelajaran hidup. Dalam cerita ini, kita diajak menyelami perasaan seorang anak yang merasa bingung dan malu karena sebuah kesalahan kecil yang ternyata memberikan dampak lebih besar dari yang ia bayangkan. Bagaimana Arif menangani perasaan malu dan rasa bersalahnya setelah kejadian itu? Dan apa yang akhirnya membuatnya belajar untuk lebih berhati-hati di lain waktu?
Sebelum itu, IzRuMin ingin mengajak Izruwebers semua untuk memberikan dukungan berupa donasi agar IzRuMin bisa terus aktif dan memberikan cerita-cerita menarik lainnya. Selain itu, donasi tersebut akan membantu IzRuMin dalam mengembangkan web blog ini serta web member IzRu Web lainnya. Dukungan dari kalian sangat berarti bagi IzRuMin!
Pada suatu malam yang tenang, di tengah udara yang agak dingin dan langit yang dihiasi bintang-bintang, Arif pergi bersama keluarganya ke acara syukuran paman dan bibinya yang hendak berangkat umrah. Acara ini dihadiri oleh banyak keluarga dan teman-teman dekat, suasana yang penuh dengan kebahagiaan dan keceriaan terasa sangat hangat. Orang-orang sibuk berbincang, saling mendoakan, dan tertawa bersama. Bahkan anak-anak bermain ceria di sudut-sudut ruangan, mengisi kekosongan malam dengan tawa mereka.
Arif, yang sedang duduk bersama sepupu-sepupunya, menikmati momen itu. Ia merasa bersyukur bisa hadir di acara tersebut bersama orang tua dan keluarganya. Setelah beberapa jam berlalu, acara pun mulai memasuki tahap akhir. Paman dan bibi Arif, yang terlihat sangat bahagia, mulai mengucapkan salam perpisahan, karena mereka harus segera berangkat ke tanah suci.
Ketika acara hampir selesai dan orang-orang mulai beranjak pulang, Arif berdiri untuk mencari ayahnya. Saat itulah ia merasa ada yang aneh. Tiba-tiba, ia menyadari bahwa sandal yang ia pakai hanya sebelah. "Eh, sandalku kok hilang sebelah?" pikir Arif dalam hati, merasa bingung. Ia pun segera memeriksa sekitar tempat acara. Di bawah meja, di dekat pintu keluar, bahkan di tengah keramaian, ia mencari sandal yang satu lagi, tetapi tidak menemukannya.
Setelah beberapa saat mencari dengan cemas, Arif akhirnya melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Di sudut ruangan, tergeletak sebuah sandal yang sangat mirip dengan sandalnya. "Mungkin ada yang salah pakai," pikirnya, merasa sedikit lega. Ia mendekat dan melihat sandal itu lebih dekat. Bentuk dan modelnya memang mirip dengan sandalnya, tetapi sesuatu terasa berbeda. Sandal yang ditemukan itu terasa lebih ringan dan agak lebih lusuh dari yang biasa ia pakai. Arif pun tidak terlalu memikirkannya. "Ya sudah, mungkin itu hanya kebetulan," pikirnya, dan ia pun melanjutkan mencari ayahnya.
Namun, sandal yang ditemukan itu terasa sangat familiar. Bentuk dan modelnya memang mirip sekali dengan sandal yang biasa ia pakai ketika menjemur pakaian di rumah. "Tapi ini bukan sandalku, hanya mirip saja," pikirnya lagi, ragu-ragu. Arif sempat berpikir untuk mencoba sandal itu, namun ia merasa aneh dan tidak yakin. Tanpa sandal yang sesuai, ia memutuskan untuk pulang tanpa mengenakan sandal dan diantarkan oleh ayahnya.
Sesampainya di rumah, Arif baru sadar ada sesuatu yang lebih aneh lagi. Ternyata, sandal yang dia pakai tadi adalah sandal yang salah pasangan. Pasangan sandal yang sesungguhnya ada di rumah. "Oh, ternyata itu sandal yang aku pakai tadi," gumam Arif, merasa sangat malu dengan kebodohannya. Ia merasa bingung dan cemas. Ia tidak tahu apakah ia harus mengakuinya atau hanya diam saja.
Ayahnya yang melihat Arif datang tanpa sandal, langsung bertanya dengan nada yang agak khawatir. "Kenapa sandal kamu hanya satu, Arif?" tanya ayahnya. Arif merasa semakin malu. "Aku nggak tahu, Yah. Sandalku hilang sebelah," jawabnya dengan suara pelan. Ayahnya langsung mengecek sandal yang dipakai Arif dan mengerutkan kening. "Eh, kok ini malah sandal yang salah pasangan?" ujar ayahnya, semakin bingung.
"Kenapa kamu nggak perhatikan, Arif? Sandal yang tadi kamu pakai itu sandal yang salah pasangan!" tegur ayahnya dengan nada yang sedikit kesal, tetapi juga ada kekhawatiran di matanya. Arif merasa bersalah dan terdiam, tidak tahu harus berkata apa. "Maaf, Yah," jawabnya pelan, dengan wajah memerah karena malu.
Ayahnya, yang sudah mulai menyadari bahwa sesuatu yang tidak biasa terjadi di acara syukuran tadi, segera mengambil kantong plastik untuk membawa pulang sandal yang tertukar itu. "Biarkan Ayah yang ambil sandal yang benar dulu," kata ayahnya dengan suara tegas, meskipun wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan.
Sebelum pergi, ayah Arif juga mengajak ibu Arif, yang baru saja pulang bekerja di toko pakaian, untuk menemani perjalanan ke acara syukuran. Arif hanya bisa diam dan merasa semakin tidak enak. "Ah, kenapa sih aku bisa ceroboh begini? Repotkan orang tua saja," pikirnya dalam hati. Rasa khawatir dan takut bahwa ia akan dimarahi lagi terus menghantuinya sepanjang waktu itu.
Sesampainya di acara syukuran, ayah dan ibu Arif segera mencari sandal yang tertinggal di sana. Mereka tidak banyak berbicara, tetapi dari cara mereka melangkah, Arif bisa merasakan betapa orang tuanya sedang berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan masalah ini. Sambil membawa sandal yang benar, mereka kembali pulang ke rumah.
Di perjalanan pulang, Arif hanya bisa terdiam di kursi belakang mobil. Ia merasa sangat malu karena sudah merepotkan orang tuanya. "Aku hanya salah sedikit, tapi malah membuat semuanya jadi rumit," pikirnya. Rasa takut bahwa orang tuanya akan marah semakin besar, tetapi yang lebih mengganggunya adalah rasa bersalah yang terus menghantuinya. Seharusnya ia lebih teliti, lebih berhati-hati, dan tidak ceroboh seperti itu.
Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa sangat lama, mereka sampai di rumah. Ayah dan ibu Arif memberikan sandal yang benar kepadanya dengan senyum. "Jangan lupa periksa dulu, Arif, lain kali. Jangan cuma ikut-ikut perasaanmu saja," kata ayahnya dengan lembut, walaupun ada sedikit nada tegas di sana. Arif hanya mengangguk dan memandangi sandal itu, merasa lega karena masalah itu akhirnya selesai.
Namun, meski masalahnya sudah beres, Arif merasa tidak enak dan penuh dengan rasa malu. Di dalam hatinya, ia tahu orang tuanya hanya ingin yang terbaik untuknya. Mereka selalu berusaha membantu dan memberikan yang terbaik, meskipun ia seringkali membuat kesalahan kecil yang merepotkan. "Aku harus lebih hati-hati dan tidak ceroboh lagi," pikirnya, berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih teliti di lain waktu.
Pada akhirnya, Arif belajar sebuah pelajaran penting malam itu: kadang-kadang, kesalahan kecil bisa membawa masalah yang lebih besar jika tidak diperhatikan dengan baik. Ia bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dan untuk lebih menghargai usaha orang tua yang selalu berusaha untuk membantunya.
Sekian dulu cerita dari IzRuMin kali ini. Jangan lupa untuk Follow Blog atau download aplikasi IzRu Web sekarang, agar tidak ketinggalan cerita menarik lainnya dari web blog Catatan IzRuYan.
Yuk segera baca cerita tentang seorang remaja yang merasa sedih akibat HP lamanya rusak, dan menjalani hari-harinya tanpa HP selama ± 17 bulan, dengan berbagai rintangan yang dihadapinya, dalam e-book "17 Bulan Sedih Tanpa HP". Dapatkan sekarang hanya di Trakteer IzRu Web. Untuk info selengkapnya, klik disini.
Terimakasih :)
Posting Komentar